Salatiga, 25 Februari 2025 — Dalam rangka melestarikan kekayaan budaya lokal, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Salatiga bersama tim akademisi dari Universitas Diponegoro (Undip) menggelar kajian terhadap Wedang Ronde Salatiga sebagai calon Warisan Budaya Tak Benda (WBTb). Kajian ini dipimpin oleh Dr. Ken Widyatwati, M.Hum., dosen Magister Susastra, Fakultas Ilmu Budaya Undip.
Kegiatan kajian dilaksanakan pada 25 Februari 2025 dan melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, pejabat pemerintah daerah, serta tim videografer yang bertugas mendokumentasikan seluruh proses. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengangkat dan mengusulkan Wedang Ronde Salatiga ke dalam daftar resmi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
Langkah ini dilakukan sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang menyebutkan bahwa kuliner tradisional merupakan salah satu bentuk ekspresi budaya tak benda yang perlu dilindungi, dilestarikan, dan dikembangkan. Kajian ini menjadi bukti keseriusan pemerintah daerah dan kalangan akademisi dalam merawat identitas budaya yang hidup di tengah masyarakat.
Wedang Ronde Salatiga dinilai memiliki karakteristik unik yang berbeda dari varian wedang ronde di wilayah lain seperti Surakarta, Yogyakarta, dan Boyolali. Dari segi bahan dan rasa, wedang ronde khas Salatiga dikenal memiliki komposisi isian yang lebih kaya. Selain bola ketan yang umum ditemukan, wedang ronde ini juga disajikan dengan campuran kacang tanah sangrai, potongan roti tawar, kolang-kaling, dan kuah jahe yang lebih pekat.
Dr. Ken Widyatwati mengungkapkan bahwa wedang ronde bukan hanya sekadar minuman tradisional, tetapi juga menyimpan nilai sejarah dan filosofi yang dalam. “Wedang ronde berasal dari istilah Tiongkok Tang Yuan, yang artinya ‘bola sup’. Di Tiongkok, makanan ini biasa disajikan pada perayaan Cap Go Meh sebagai simbol persatuan dan keharmonisan keluarga,” jelasnya. “Ketika masuk ke Nusantara, khususnya di Salatiga, minuman ini mengalami proses adaptasi dan akulturasi dengan budaya Jawa, sehingga menjadi seperti yang kita kenal sekarang.”
Menurut Dr. Ken, bentuk bulat dari bola ketan melambangkan keutuhan dan kehangatan hubungan antarindividu. Sementara itu, kuah jahe hangat mencerminkan semangat gotong royong serta solidaritas sosial dalam masyarakat. Nilai-nilai inilah yang membuat Wedang Ronde Salatiga tidak hanya penting secara kuliner, tetapi juga penting secara budaya dan sosial.
Selain dari sisi sejarah dan filosofi, Wedang Ronde juga merepresentasikan proses percampuran budaya yang harmonis antara etnis Tionghoa dan Jawa di Salatiga. Kota ini sejak lama dikenal sebagai wilayah multikultural, tempat berbagai kelompok etnis hidup berdampingan secara damai. Wedang Ronde menjadi simbol nyata dari perpaduan tersebut, yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kota.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Salatiga menyambut baik kegiatan kajian ini. Ia berharap agar hasil kajian dapat segera ditindaklanjuti dalam bentuk pengajuan resmi kepada pemerintah pusat. “Dengan ditetapkannya Wedang Ronde Salatiga sebagai Warisan Budaya Tak Benda, kami berharap generasi muda akan semakin bangga dan terdorong untuk melestarikan warisan kuliner ini,” ujarnya.
Kajian ini juga menjadi bagian dari strategi pengembangan pariwisata berbasis budaya lokal. Dengan mengangkat kekayaan kuliner tradisional seperti Wedang Ronde, Salatiga diharapkan dapat memperkuat daya tarik wisata sekaligus menjaga kelestarian identitas budayanya.
Sebagai penutup, Dr. Ken menegaskan pentingnya dokumentasi dan pelestarian budaya lokal yang hidup di tengah masyarakat. “Budaya tak hanya disimpan di museum atau arsip, tetapi harus terus diwariskan dan dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari. Wedang Ronde adalah warisan hidup itu,” pungkasnya.
Komentar Terbaru