Jika Anda pernah membaca tulisan-tulisan Umar Kayam, mungkin Anda pun akan sepakat jika tulisan Output Arah kebijakan DAK Fisik Tahun Anggaran 2020 ini bukanlah topik bahasan yang baru. Narasi-narasinya yang sudah ada sejak 47 tahun silam itu cukup kontekstual dengan permasalahan wajah pendidikan saat ini. Oleh sebab itu, saya pun berpikiran jika mungkin, ini adalah pertanda dari stagnasi pendidikan Indonesia atas permasalahn pendidikan Indonesia yang tak kunjung usai.
Coba ingat kembali sepenggal kalimat UUD 1945 “Mencerdaskan kehidupan bangsa” yang ditasbihkan! Pahami dan resapi baik-baik, tentu saja kalimat tersebut bukanlah sebuah janji yang patut untuk ditagih. Apalagi, ada dugaan Ki Hajar Dewantara terkait penyalahgunaan tempat pendidikan menjadi tempat perniagaan seperti dulu, patut ditengok kembali. Berkaitan dengan hal tersebut, maka, sebuah esai Umar Kayam yang berjudul “Sebuah Esei Tentang Pendidikan” rasanya patut untuk dijadikan reflkesi ikhwal pencerdasan bangsa lewat pendidikan Indonesia saat ini. Esai yang terbit di majalah Prisma pada 30 Maret 1972 ini menyoal keterbelakangan pendidikan Indonesia dan keterasingan bangku sekolah dengan realita kehidupan masyarakat.
Barang tentu, kita patut meninjau ulang praktik di lapangan. Sejauh mana para pihak terkait menyelesaikan permasalahan pendidikan. Apakah terjadi penyimpangan? Bagaimana sinkronisasi kebijakan berbagai instansinya? Atau, ada formula yang salah atas praktik pendidikan Indonesia? Mari kita bahas!
Narasi Umar Kayam
Umar Kayam tak hanya menyorot pendidikan dalam bingkai sekolah, Universitas (Perguruan Tinggi) pun menjadi titik pandang wajah pendidikan kita. Esainya yang melihat konjungsi pendidikan dan masyarakat, mengisyaratkan adanya instansi pendidikan sebagai menara gading yang berdiri di tengah masyarakat, yang menangis atas penderitaannya. Wajib adanya benang merah penghubung pendidikan dan masyarakat.
Imaji Siswa atau Mahasiswa tanpa benang merah dengan realitas masyarakat, saat itu memunculkan anggapan pendidikan tak berguna dikehidupan bermasyarakat. Timbullah solusi perbaikan dari Umar Kayam untuk menambah ruang kelas, ruang praktek siswa, serta pengadaan perpustakaan, sebagai penunjang menengok realitas kehidupan.
Menurtnya pula, paling penting adalah meningkatkan kanal-kanal informasi pengetahuan, menarik benang merah antara ilmu dan relaitas kehidupan. Titik beratnya ada pada bagaimana kontekstualitas pengajar menyampaikan berbagai informasi kepada anak didik dengan keakraban imaji kehidupan mereka. Dan disinilah kata Umar Kayam kelemahannya.
Ada hal unik di esai Umar Kayam prihal administrasi keprofsian pengajar. Saking capeknya pengajar membawa segudang urusan super ribet administrasi sekolah, menyebabkan mereka tak sempat untuk membuka buku sekedar untuk menyulam informasi yang tercecer. Apalagi mengurai benang merah antara bahan ajar dan masyarakat. Mungkin mereka memilih tidur pulas dengan membawa mimpi buruk administrasi yang menghantui tidurnya.
Pengajar Literat
Sangat jelas, pengajar yang literat merupakan harapan narasi besar Umar Kayam. Mampu menjadi samudra ilmu bagi siswanya dalam melihat keadaan bangsa. Karena, sifat dan maksud pendidikan untuk-menyokong kodrat alam anak-anak yang dididik, supaya dapat menunbuh-kembangkan hidup lahir dan batin menurut kodratnya sendiri-sendiri (1977: 94). Itulah pesan Ki Hajar Dewantara yang termaktub dalam buku kumpulan karaya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, Bapak pendidikan Indonesia.
Kebanyakan wali siswa percaya pada mitos pendidikan yang menyebutkan bahwa, guru adalah sosok yang super pintar. Segala ucapananya adalah kebenaran yang kemudian menjadikan mereka menyerahkan anaknya begitu saja. Harapannya tentu saja adalah keluar dari sekolah, anaknya menjadi pribadi yang pintar dan purna dari segala macam.
Sayangnya, hal tersebut cukup kontradiktif dengan kenyataan. Alih-alih suatu bentuk harapan, hal itu malah menjadi jurang pemisah antara anaknya dengan masyarakat. Konsekuensinya “mitos pendidikan harus ditebas”. Bukan tak percaya pada instansi pendidikan, tapi sebagai langkah yang melengkapi benang merah imaji anak dengan realitas masyarakat, melalui orang tua siswa yang aktif memberikan pendidikan di lingkungan keluarga.
Kemendikbud pun tanggap terhadap masalah tersebut melalui pembentukan Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang diharapkan dapat menyelesaikan yang ada di bidang pendidikan. Hingga, melahirkan kebijakan kontroversial berupa sistem zonasi sekolah dengan harapan, sistem tersebut mampu menepis elitisisme sekolah dan menggalakkan gaung pemerataan pendidikan. Inilah yang akhirnya menguji kompetensi dan dan loyalitas para guru.
Guru harus menerima siswa yang memiliki berbagai latar belakang. Jika, siswa yang terjaring tak seperti harapan, tentu saja para pengajar itu harus kembali menengok tujuan adanya pendidikan “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” bukan “Menampung Anak Pintar Bangsa”.
Ranah Perguruan Tinggi pun tak luput dari permasalahan. Jurang pemisah instansi pendidikan-masyarakat terlihat begitu menganga. Dikandung maksud mencetak penerus bangsa yang mencerdaskan warga negara, perguruan tinggi justru sangat berjarak dengan masyarakat. Amanat Tri Darma hanya menjadi formalitas dalam kertas. Permasalahan masyarakat tak serius mejadi kajian untuk diselesaikan.
Sekarang, para pengajar justru hanya sibuk mengurus hal-hal yang sifatnya di luar urusan mendidik. Urusan keprofesian pun hanya sekadar urusan administratif untuk meningkatkan sertifikasi. Urusan jurnal, penelitian dan pengabdian justru kini menjadi hal yang hanya dipandang dari segi remonerasi. Bukan pada tataran substansi peningkatan kualitas pendidikan.
Keberagaman tingkat pendidikan pun masih menuai masalah. Sistem zonasi sekolah yang dicanangkan oleh Kemendikbud sebagai langkah pemerataan pendidikan pun tidak diimbangi dengan keberagaman tingkat pendidikan dalam tataran pascasekolah.
Kemendikbud yang bertaruh atas penebasan mitos sekolah elit dengan mensetarakan semua sekolah, justru di tataran perguruan tinggi terbuyarkan oleh elitisme yang digadang-gadang sebagai kegelamoran instansi perguruan tinggi. Penggenjotan jurnal yang terakreditasi Scopus, penggenjotan rangking Perguruan Tinggi, Hingga wacana ditingkat Perguruan Tinggi untuk mengganti Rektor Asing. Sangat Kontradiktif dengan kebijakan Kemendikbud. Dan lagi-lagi Pendidikan kembali berjarak dengan Masyarakat.
Pesan Ki Hajar Dewantara
Kembali pada pesan Bapak pendidikan Indonesia yang mengatakan kurang-lebih seperti ini:
Nenek moyang orang Indonesia dulu bercocok tanam (bukan tanah industri) karena dianugrahi kemurahan khodrat alam. Manusianya saling bermurah hati dan suka menolong orang lain. Karena kita tak akan kekurangan bahan pangan. Sehingga, kita tak memiliki nafsu saling rebut kebendaan. Timbullah angan-angan untuk berbakti kepada kekuasaan yang tak terlihat (religius). Walupun, khodrat alam itu menimbulkan suatu hal yang sifatnya buruk. Kita kurang energi (etos mengumpulkan kebendaan). Dan khodrat alam seperti kita dipandang buruk oleh bangsa lain. Namun, itulah khodrat bangsa Indonesia. Sehingga pendidikan kita harus sesuai dengan hidup kita dan perikehidupan kita. Boleh kita namakan itu sebagai Pendidikan National atau Natuurlijk atau Menschelijk. Hal-hal buruklah yang harus dikelola lewat pendidikan (Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan, 1977: 89-90).
Ironis, ketika wajah pendidikan kita saat ini tak lagi mempertimbangkan pesan-pesan Bapak pendiri bangsa. Ki Hajar Dewantara yang amsalnya digunakan sebagai gaung pendidikan Indonesia kini pun sangat jarang ditengok. Tauladan sistem pendidikan selalu mengacu pada primordial asing tanpa melirik sisi lokalitas bangsa. Entah, berapa banyak bangsa luar yang telah melirik dan memuja sistem pendidikan kita era dulu dan kini sukses memperbaiki kualitas pendidikan bangsanya. Bangsa Indonesia hanya mencari rujukan dari bangsa luar tanpa mencoba menelaah potensi sumber pendidikan bangsa. Baik dari peninggalan tempat Pawiyatan zaman dahulu, ataupun kekayaan sumber yang tak kurang dari peninggalan kasusastraan Indonesia. Itulah pesan dari Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara.
Baik sekolah maupun perguruan tinggi, seharusnya menggali potensi dari apa yang menjadi kepribadiannya sendiri. Tanpa mencederai kepribadiannya dan tetap terus berinovasi untuk wajah pendidikan Indonesia yang berkarakter National, Natuurlijk dan Menschelijk.
Begitulah kurang-lebih harapan Umar Kayam untuk kesenjangan yang semakin hari kian kentara terjadi di wajah pendidikan Indonesia ini. (Frengky N.F.P, Mahasiswa Magister Ilmu Susastra-UNDIP)
Komentar Terbaru