Perbincangan terkait identitas budaya daerah memantik antusiasme masyarakat. Apalagi dengan adanya wacana legalitas kebudayaan asli daerah melalui Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD). Berbagai daerah di Indonesia dianjurkan untuk menelusuri berbagai potensi kebudayaan daerahnya. Dengan maksud untuk memaksimalkan nilai tawar dan pendataan kekayaan budaya daerah di tingkat nasional. Wacana itu termaktub dalam UU No. 10 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sebagai bentuk konkretisasi (konkretisasi) perlindungan dan pengembangan kekayaan budaya lokal.

Frengki Nur Fariya, dalam penelitian thesisnya yang berjudul “KUASA PRABU KELANA SEWANDANA: VERNAKULARISASI DAN PERANG NARASI REYOG PONOROGO” melihat hal demikian di tengah lingkungan budaya. Perdebatan kontekstualisasi zaman ini menyebabkan timbulnya polarisasi yang bersitegang memperebutkan posisi sebagai lokutor. Peran kekuasaan menjadi penting dalam perebutan posisi sebagai lokutor narasi. Narasi kesenian Reyog Ponorogo menjadi salah satu bentuk tegangan narasi kesenian. Beragam versi dan kekuatan basis pendukung versi narasi membuat kesenian Reyog Ponorogo tidak pernah menemukan periodesasi yang jelas. Apalagi adanya tapak jejak keterlibatan Reyog Ponorogo di masa bernaung dalam Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang dinyatakan pemerintah berafiliasi dengan PKI.

Dalam hal ini, Frengki Nur Fariya melalui penelitiannya yang dibimbing oleh Dr. Sukarjo Waluyo, M.Hum. mendapat temuan seperti temuan catatan mengenai Reyog Ponorogo dalam Serat Centhini (1814 M) dan Tetingalan Rejog  Panaraga (awal abad 20). Kedua manuskrip ini dapat menjadi pendukung data hitoris. Koteks yang ditemukan dalam teks dapat menjadi pijakan berubahan bentuk dan narasi Reyog Ponorogo di masa lalu. Teks manuskrip dan bukti arsip dapat disandingkan untuk memunculkan alternatif tafsir. Seperti pijakan yang ditemukan dalam Tetingalan Rejog Ponorogo mengenai pijakan cerita panji dalam pertunjukan Reyog Ponorogo.

Kesimpulan dari penelitan tersebut, Reyog Ponorogo yang dianggap satu-satunya nama kesenian ternyata memiliki kemiripan nama kesenian di daerah lain.  terbagi menjadi dua bentuk pertunjukan yakni Reyog Obyog dan Reyog festival terdapat beragam narasi. Dua bentuk pertunjukan yakni Reyog Obyog yang memakai satire Ki Ageng Kutu untuk Brawijaya V dan Reyog Festival yang berlandaskan narasi KSB menunjukan masih bertahannya bentuk masa lalu dan masa kini. Hal ini dapat dipahami sebagai dinamika keberadaan bentuk Reyog Ponorogo. Keberadaan ragam narasi Reyog Ponorogo lebih mengarah pada keterlibatan unsur politis yang melandasinya.

Hasil temuan penelitian Frengki Nur Fariya Pratama tersebut telah diujikan di hadapan para penguji, Dr. Redyanto Noor, M.Hum., Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, M.A., dan Dr. M. Suryadi, M.Hum., pada 18 April 2023.